Hukum Perdata Int’

Handout Hukum Perdata Internasional Oleh : H.M.Aiz Muhadjirin, SH,MH

Pertemuan I

Pengertian Hukum Internasional Hukum internasional adalah bagian hukum yang mengatur aktivitas entitas berskala internasional. Pada awalnya, Hukum Internasional hanya diartikan sebagai perilaku dan hubungan antar negara namun dalam perkembangan pola hubungan internasional yang semakin kompleks pengertian ini kemudian meluas sehingga hukum internasional juga mengurusi struktur dan perilaku organisasi internasional dan, pada batas tertentu, perusahaan multinasional dan individu. Hukum Internasional publik berbeda dengan Hukum Perdata Internasional. Hukum Perdata Internasional ialah keseluruhan kaedah dan asas hukum yang mengatur hubungan perdata yang melintasi batas negara atau hukum yang mengatur hubungan hukum perdata antara para pelaku hukum yang masing-masing tunduk pada hukum perdata (nasional) yang berlainan. Sedangkan Hukum Internasional adalah keseluruhan kaidah dan asas hukum yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara (hubungan internasional) yang bukan bersifat perdata. Persamaannya adalah bahwa keduanya mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara (internasional). Perbedaannya adalah sifat hukum atau persoalan yang diaturnya (obyeknya). Hukum Internasional ialah keseluruhan kaedah dan asas yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara antara: (i) negara dengan negara; (ii) negara dengan subyek hukum lain bukan negara atau subyek hukum bukan negara satu sama lain. Istilah hukum internasional adalah hukum bangsa-bangsa, hukum antar bangsa atau hukum antar negara. Hukum bangsa-bangsa dipergunakan untuk menunjukkan pada kebiasaan dan aturan hukum yang berlaku dalam hubungan antara raja-raja zaman dahulu. Hukum antar bangsa atau hukum antar negara menunjukkan pada kompleks kaedah dan asas yang mengatur hubungan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa atau negara. Pentingnya Hukum Perdata Internasional Hubungan masyarakat semakin kompleks seiring dengan semakin luasnya cakupan yang tidak lagi dibatasi oleh batas territorial. Hubungan antar masyarakat ini secara otomatis akan menimbulkan hubungan hukum yang melibatkan tidak hanya pihak-pihak yang masih dalam satu territorial tetapi tidak menutup kemungkinan melibatkan pihak-pihak asing atau unsur-unsur asing. Disinilah letak diperlukannya Hukum Perdata Internasional yang diharapkan menjadi solusi persoalan dimana terkait unsur-unsur asing. Berikut ini beberapa contoh persoalan yang masuk dalam ruang lingkup Hukum Perdata Internasional, yaitu : 1. Penanaman Modal Asing; 2. Nasionalisasi perusahaan; 3. Jual beli internasional; 4. Dwikewarganegaraan; 5. Perkawinan campuran, dll. Istilah-istilah lain dari Hukum Perdata Internasional antara lain ialah : 1. Private International Law (Chesire, Wolf). 2. International Private Law (Scotlandia) 3. Internationales Privatrecht (Eropa Kontinental). 4. International Burgelijkrecht (Kosters). 5. Droit International Prive (Arminjon).

Handout Hukum Perdata Internasional Oleh : H.M.Aiz Muhadjirin, SH,MH

Pertemuan II Sumber-sumber Hukum Perdata Internasional

Sumber hukum (rechtsbronnen) daripada HPI adalah sama seperti sumber-sumber hukum yang dikenal dalam hukum perdata intern suatu negara. Dalam pemahaman ini sesungguhnya tidak dikenal adanya hukum perdata yang “internasional”, namun tetap saja produk hukum yang berlaku pada suatu negara atau nasional. Apabila melihat sistem hukum di dunia ini maka kita akan mengenal adanya sistem common law dan sistem civil law. Kedua sistem ini memiliki perbedaan yang signifikan dalam menyikapi sumber HPI ini. Menurut sistem common law hakim sangat berperan penting dalam menyelesaikan suatu kasus yang terdapat unsur asingnya. Di lain pihak, sistem civil law lebih mengutamakan perundang-undangan tertulis dalam menyelesaikan persoalan yang mengandung unsur asing. Peraturan-peraturan tentang Hukum Perdata Internasional dalam perundang-undangan modern. 1. Code Civil Perancis tahun 1804. Pasal-pasal dalam Code Civil yang berkaitan dengan HPI telah dijadikan dasar peraturan dalam perundang-undangan negara lain. 2. “Einfuhrungsgesetz zum Burgerlichen gesetzbuch” tahun 1896, yang disingkat (EGBGB). Di sini terdapat HPI negara Jerman. 3. “Bundesgesetz betreffend die zivilrechtlichen Verhaltnisse der Niedergelassenen und Aufenhalter” (NAG) telah diterima sebagai HPI di negara Swiss pada tahun 1891. 4. Code Civil Brasilia tahun 1916 yang dirubah pada tahun 1942, yakni tentang perubahan prinsip nasionalitas menjadi prinsip domisili. 5. Code Civil di Italia tahun 1942. 6. Yunani telah membuat peraturan tentang HPI pada tahun 1940. 7. Polandia telah memberlakukan UU yang mengatur HPI sejak tahun 1926. 8. Cekoslovakia telah membuat kodifikasi HPI pada tahun 1948. 9. Code Civil Mesir sejak tahun 1948. 10. Code Civil Syiria sejak tahun 1949. 11. Austria dengan “Allegememes Burgerliches Gesetzbuch” (ABGB) sejak tahun 1939. 12. Thailand sejak tahun1939. Di samping negara-negara tersebut di atas ternyata banyak pula negara-negara yang tidak memiliki HPI secara khusus (Kodifikasi HPI). Negara-negara tersebut ialah : 1. Negara yang tergabung dalam British Commonwealth. 2. Amerika Serikat. 3. Uni Sovyet 4. Negara-negara Skandinavia, seperti Finlandia, Swedia, Eslandia. Negara Indonesia sendiri, selain rangkaian karya Prof.S.Gautama belum ada teks book yang membahas HPI secara seksama dan mendalam. Hal ini menjadi petunjuk bahwa Indonesia memang tidak memiliki UU yang khusus (kodifikasi) tentang HPI sehingga yang dipergunakan adalah tetap hukum perdata nasional namun dapat diberlakukan atau dimanfaatkan juga untuk menangani persoalan perdata internasional.

 Handout Hukum Perdata Internasional Oleh : H.M.Aiz Muhadjirin, SH,MH

Pertemuan III Hubungan Hukum Perdata Internasional dan Hukum Antar Tata Hukum (HATAH)-intern

Menurut Prof.Sudargo Gautama, Hukum Antar Tata Hukum (HATAH) dapat dibagi menjadi 2 kategori, yaitu : 1. Extern, untuk Hukum Perdata Internasional, 2. Intern, untuk Hukum Antar Golongan (HAG), Hukum Antar Waktu (HAW) dan Hukum Antar Tempat (HAT). Dalam upaya untuk memahami hubungan antara HPI dengan HATAH intern, maka yang pertama harus kita pahami adalah bahwa HPI lebih berkaitan dengan unsur asing sehingga diistilahkan pula dengan HATAH extern. Adapun HATAH intern lebih berkaitan dengan unsur-unsur satu negara. Namun demikian menurut Prof.Sudargo Gautama Hukum Antar Tempat (HAT) yang merupakan salah satu bagian dari HATAH intern adalah bagian yang paling dekat kaitannya dengan HPI. Hal ini dapat kita pahami karena dalam HAT terdapat 2 tempat yang berbeda dalam suatu peristiwa hukum. Perbedaan tempat di sini tentunya dalam pemahaman perbedaan negara sehingga sangat erat kaitannya dengan HPI. Secara pengertian, maka HPI dapat didefinisikan sebagai : “Keseluruhan peraturan dan keputusan hukum yang menunjukan stelsel hukum manakah yang berlaku atau apakah yang merupakan hukum, jika hubungan hukum dan peristiwa-peristiwa antara warga negara pada satu waktu tertentu memperlihatkan titik-titik pertalian dengan stelsel-stelsel dan kaidah-kaidah hukum dari dua atau lebih negara, yang berbeda dalam lingkungan-lingkungan kuasa tempat, pribadi, dan soal-soal”. Untuk lebih memahami perbedaan antara HPI sebagai HATAH extern dengan HATAH intern, berikut ini akan diuraikan sebagai berikut : 1. HPI dengan HAW memiliki perbedaan : Persoalan HAW timbul karena adanya peraturan-peraturan atau stelsel-stelsel hukum yang berbeda karena saling susul menyusul. Dalam persoalan HPI kita menyaksikan bahwa persoalan yang timbul mengenai stelsel-stelsel hukum berbeda yang dipertautkan pada satu waktu tertentu. Persoalan HPI timbul dalam suasana kehidupan internasional. Adapun persoalan HAW umumnya terdapat dalam stelsel hukum suatu negara (nasional). 2. HPI dengan HAT memiliki perbedaan: Pada HPI kita menghadapi persoalan yang berunsurkan asing, sedangkan pada HAT kita tidak menghadapi persoalan demikian. Segala sesuatu pada HAT ini berlangsung dalam suasana hukum nasional. HAT lebih mengarah kepada perbedaan tempat secara nasional, seperti perkawinan campuran antara orang sunda dengan batak. Dalam HAT tidak dimungkinkan adanya persoalan yang berkaitan dengan kedaulatan negara. Hal ini berbeda dengan HPI. Dalam HAT peradilan dapat dikatakan sebagai pelaksana hukum tertinggi, namun dalam HPI tidak dikenal adanya peradilan tertinggi dalam HAT. Disamping memiliki perbedaan, HPI dan HAT memiliki beberapa persamaan, yaitu : Adanya persamaan waktu dan perbedaan lingkungan-kuasa-tempat, dan soal-soal. 3. HPI dan HAG memiliki hubungan yang sangat erat sehingga muncul opini bahwa apa yang telah dihasilkan oleh HPI dapat langsung ditransfer untuk dijadikan HAG. Untuk lebih jelas dapat disimpulkan sebagai berikut : Baik HPI maupun HAG termasuk bidang “Hukum Perselisihan” dalam arti kata yang luas. Keduanya berurusan dengan persoalan tentang hukum manakah yang harus diperlakukan diantara stelsel-stelsel hukum yang dipertautkan (Choice of law). Stelsel hukum yang dipertautkan adalah stelsel hukum yang berbeda. Pertautan stelsel dalam satu waktu tertentu. Adapun perbedaan pada HPI dan HAG adalah : Dalam HAG faktor tempat tidak merupakan faktor yang penting, berbeda dengan HPI. Pada HAG faktor tempat tidak pernah merupakan faktor untuk berlakunya suatu stelsel hukum tertentu. Pada HAG “Lex domicile” tidak menjadi penting. Pada HAG lebih mengarah kepada hukum nasional.

Handout Hukum Perdata Internasional Oleh : H.M.Aiz Muhadjirin, SH,MH

Pertemuan IV & V (Asas kewarganegaraan)

Ius soli atau jus soli (bahasa Latin untuk “hak untuk wilayah”) adalah hak mendapatkan kewarganegaraan yang dapat diperoleh bagi individu berdasarkan tempat lahir di wilayah dari suatu negara. Dia berlawanan dengan jus sanguinis (hak untuk darah). Biasanya sebuah peraturan praktikal pemerolehan nasionalitas atau kewarganegaraan sebuah negara oleh kelahiran di wilayah tersebut diberikan oleh sebuah hukum turunan disebut lex soli. Banyak negara memberikan lex soli tertentu, dalam aplikasi dengan jus soli yang bersangkutan, dan aturan ini yang paling umum untuk memperoleh nasionalitas. Sebuah pengecualian lex soli diterapkan bila anak yang dilahirkan orang tuanya adalah seorang diplomat dari negara lain, yang dalam misi di negara bersangkutan. Namun, banyak negara memperketat lex soli dengan mengharuskan paling tidak salah satu orang tua harus memiliki warga negara yang bersangkutan atau ijin tinggal resmi lainnya pada saat kelahiran anak tersebut. Alasan utama menerapkan aturan tersebut adalah untuk membatasi jumlah orang bepergian ke negara lain dengan tujuan mendapatkan kewarganegaraan untuk seorang anak. Ius soli umum di negara-negara di Amerika dan di tempat lain yang ingin mengembangkan dan meningkatkan penduduk mereka. Beberapa negara yang menerapkan ius soli adalah Argentina Brazil Jamaika Kanada Meksiko Amerika Serikat Masalah Kewarganegaraan – Apatride – Bipatride Untuk memahami masalah kewarganegaraan baik apatride maupun bipatride, maka perlu juga dikaji tentang dua asas kewarganegaraan yaitu asas ius soli dan ius sanguinus. Mengapa demikian? Karena negara yang menerapkan ius soli maupun ius sanguinus akan menimbulkan apatride dan bipatride. Pengertian 1. Ius Soli adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang menurut daerah atau negara tempat ia dilahirkan. Contohnya : Anda dilahirkan di negara A maka Anda akan menjadi warga negara A walaupun orangtua Anda adalah warga negara B (dianut di negara Inggris, Mesir, Amerika dan lain-lain). 2. 3. Ius Sanguinus adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang menurut pertalian darah atau keturunan dari orang yang bersangkutan tadi. Contohnya : Anda dilahirkan di negara A, tetapi orangtua Anda warga negara B, maka Anda tetap menjadi warga negara B (dianut oleh RRC). 4. Dari uraian di atas apakah Anda mengerti? Jika sudah memahami cobalah sekarang Anda tulis jawaban pertanyaan ini. a. Apakah Anda merasa rugi bila negara Anda menganut Ius Soli? Ya atau Tidak … alasannya …. b. Apakah Anda merasa beruntung bila negara Anda menganut asas Ius Sanguinus? Ya atau Tidak …. Alasannya …. Untuk dapat menjawab pertanyaan tersebut, Anda dapat mendiskusikannya dengan teman Anda. 5. Apatride adalah adanya seorang penduduk yang sama sekali tidak mempunyai kewarganegaraan. Contohnya : Anda warga negara A (ius soli) lahir di negara B (ius sanguinus) maka Anda tidaklah menjadi warga negara A dan juga Anda tidak dapat menjadi warga negara B. Dengan demikian Anda tidak mempunyai warga negara sama sekali. 6. 7. Bipatride adalah seorang penduduk yang mempunyai dua kewarganegaraan sekaligus (kewarganegaraan rangkap). Contohnya : Anda keturunan bangsa B (ius sanguinus) lahir di bangsa B maka Anda dianggap sebagai warga negara B akan tetapi negara A juga menganggap warga negaranya karena berdasarkan tempat lahir Anda. 8. Contoh di atas apakah Anda merasa rugi atau tidak jika Anda menjadi contoh di atas (tidak mempunyai warga negara) ya atau tidak beri alasannya …. Jawaban Anda dapat didiskusikan dengan teman Anda atau mintalah penjelasan dari Guru Bina Anda.

Handout Hukum Perdata Internasional Oleh : H.M.Aiz Muhadjirin, SH,MH

Pertemuan VI Kewarganegaraan (Lanjutan)

UNDANG-UNDANG KEWARGANEGARAAN YANG REVOLUSIONER Depkumham Undang-Undang (UU) Kewarganegaraan No 12 Tahun 2006 merupakan produk UU yang sangat revolusioner, demikian dikatakan Menteri Hukum dan HAM, Hamid Awaludin ketika memberi arahan pada Acara Pelantikan Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indoneisa (YLBHI) Jakarta periode 2006-2011, Kamis, 28 September 2006. Patra M. Zen adalah Ketua YLBHI saat ini. Selain Hamid Awaludin, juga hadir beberapa pendekar hukum antara lain Jaksa Agung, Abdul Rahman Saleh; Pengacara, Adnan Buyung Nasution dan Ketua KPK, Taufiqurahman Ruki. Menurut Hamid Awaludin, Undang-Undang Kewarganegaraan sebelumnya, yakni UU No.62 Tahun 1958, dinilai sangat diskriminatif dimana untuk menjadi mendapatkan kewarganegaraan, seseorang akan dilihat berdasarkan garis keturunan. Sedangkan dalam UU yang baru, kewarganegaraan dilihat dari persfektif hukum. Misalnya, Si A atau si B bisa menjadi warga negara RI karena ia secara hukum dinyatakan sah sebagai warga negara RI. Menurut ketentuan UU Kewarganegaraan, orang-orang yang berhak menjadi warga negara adalah : Pertama, Anak yang terlahir dari bapak dan ibu Warga Negara Indonesia. Kedua. Anak yang lahir dari perkawinan campuran. Perubahan UU Kewarganegaraan ini memberikan kemudahan bagi warga negera atas status kewarganegaraannya. Khusus untuk anak hasil perkawinan campuran, UU lama mengatakan kalau ayahnya WNA dan Ibunya WNI maka anak otomatis ikut kewarganegaraan ayahnya. Maka banyak persoalan muncul ketika badai rumah tangga datang bapak berpisah dengan ibu maka anak harus dua pilihan, meninggalkan ibunya di Indonesia, kemudian ikut bapaknya ke negeri asal atau ikut ibunya dengan konsekwensi setiap tahun harus mendaftarkan diri dan membayar biaya untuk mendapatkan Kartu Ijin Tinggal Sementara. Sedangkan dalam UU Kewarganegaraan yang baru mengatakan, anak yang lahir dari hasil perkawinan campuran ayah WNA dan ibu WNI maka anak yang lahir secara otomatis menjadi Warga Negara Indonesia dan disaat yang berbarengan anak tersebut juga memiliki kewarganegaraan ayahnya, atau dapat disebut anak tersebut memiliki dwi kewarganegaraan. Status tersebut disandang sampai yang bersangkutan berusia 18 tahun sehingga dapat memilih satu kewarganegaraan yang diinginkan. Jika anak telah berusia mencapai 18 tahun maka yang bersangkutan akan ditanya apakah mau menjadi warga negara RI atau ikut kewarganegaraan ayahnya. Ini dua perubahan besar dari UU Kewarganegaraan tersebut. Kedua dulu perempuan yang kawin dengan orang asing maka harus ikut kewarganegaraan suaminya, sekarang isteri dapat menjadi sponsor untuk menarik suaminya menjadi WNI. Berikutnya dalam UU, warga lama kita tidak mengenal double indentity, maka banyak kejadian anak yang lahir dari pasangan ibu dan bapak WNI tetapi lahir di negara yang menganut Bipoli seperti USA maka otomatis anak tersebut menjadi warga Amerika. Sekarang UU baru mengatakan, anak yang lahir dari ayah dan ibu WNI di negara yang menganut trisoli maka anak tsb bisa menjadi warga negara dimana ia lahir dan disaat yang bersamaan juga dapat menjadi Warga Negara Indonesia. Sampai berusia 18 tahun barulah mereka memilih satu pilihan satu warga negara. Bahkan UU baru kita menyatakan anak yang baru lahir dalam wilayah RI yang tidak ketahuan identitas orangtuanya pun otomatis menjadi WNI. Atau identitas orang tuanya diketahui tetapi kewarganegaraannya tidak ada (stateless) maka juga otomatis menjadi WNI. Berikutnya semua WNA yang membawa keharuman bangsa maka bisa menjadi WNI tanpa melalui proses naturalisasi. Maka kedepan Insya Allah kita tidak akan melihat lagi Hendrawan-hendrawan lain yang berjuang atas nama bangsa tetapi sangat sulit untuk mendapatkan kewarganegaraan, kejadian tersebut tidak akan terulang lagi. Begitu pul adengan kasus 579 orang eks Mahasiswa Ikatan Dinas (eks Mahid) jaman Orde Lama yang dikirim saat itu yang tersebar di seluruh negara Eropa, tidak diakui kewarganegaraannya dan kesulitan dalam pengurusan paspor hingga sampai sekarang belum dapat kembali ke tanah air Indonesia. Hal tersebut terjadi juga pada mahasiswa Indonesia yang dikirim ke Quba dan belum pernah kembali sampai saat ini. UU yang baru membuka peluang bahwa WNI yang ada di luar negeri dan tidak pernah melaporkan diri selama 5 tahun maka diberi waktu untuk menjadi WNI tanpa proses naturalisasi selama 3 tahun. Hasbullah. Sumber: Depkumham – http://www.depkumham.go.id RENVOI Dalam keberagaman sistem hukum di dunia, dikenal 2 asas, yakni asas nasionalitas dan asas domisili. Masalah renvoi (penunjukan kembali) kemudian muncul sebagai akibat dari perbenturan asas tersebut. Pertanyaan yang juga bisa timbul terkait masalah renvoi ini adalah soal kualifikasi. Apakah hukum yang nanti diberlakukan itu adalah hukum intern ataukah HPI di Indonesia, atau mungkinkah hukum intern atau HPI dari negara lain yang diberlakukan. Selain itu, penerapan untuk kasus yang bisa dianggap serupa juga timbul perbedaan. Penerapan berbeda itu karena pada beberapa negara juga tidak semuanya menerima renvoi ini. Dengan kata lain, sejumlah negara memiliki kecenderungan menolak renvoi. Untuk itu kita harus bisa mengetahui negara mana yang memiliki kecondongan menerima dan mana pula yang punya kecenderungan menolak. Untuk Indonesia, pada beberapa praktek administratif ternyata telah menunjukkan bahwa negeri ini telah menerima renvoi. Berikut keberadaan renvoi di sejumlah negara: 1. Perancis Diketahui sejak ada peristiwa Forgo, menunjukkan bahwa di Perancis telah menerima Ronvoi, namun sejumlah pengamat menyebutkan bahwa ada kecondongan renvoi ditolak di negara ini. 2. Italia Umumnya renvoi ditolak. Pengaruh teori Mancini menunjukkan bahwa di Italia ada hasrat melindungi diri dari HPI asing. 3. Jerman Jerman memiliki kecondongan ke arah penerimaan. 4. Swiss Secara tegas, tidak ada aturan tentang renvoi tetapi memiliki kecenderungan ke arah penerimaan. 5. Nederland Menurut yurisprudensinya, umumnya renvoi ditentang tetapi di sana-sini tetap ditemukan keputusan yang dianggap menyimpang. 6. Negara Asia-Afrika Diantaranya yang menerima atau mengakui keberadaan renvoi yakni Tiongkok, Thailand, dan Jepang. Sedang Mesir menolak, karena dalam Code Civil Mesir tahun 1948 dinyatakan bahwa penunjukan pada hukum asing dianggap penunjukan kepada kaidah intern materil dan kaidah HPI asing dikesampingkan. 7. Negara-negara Anglo Saxon Seperti Inggris, ada kecenderungan kea rah penerimaan. 8. Amerika Serikat Tak ada aturan tertulis. Tapi ada kecondongan menolak. Terkecuali persoalan yang berkenaan dengan titel tanah diatur dimana tanah itu terletak, termasuk kaidah HPI negara bersangkutan. Pun tentang sahnya perceraian, ini ditentukan domisili para pihak termasuk kaidah HPI-nya. 9. Negara-negara sosialis Ada kecenderungan menerima misalnya saja di Moscow. Berikut ini beberapa contoh kasus yang dapat dikategorikan berkenaan masalah renvoi: – Kasus in re Annesley (Davidson v. Annesley tahun 1926) Annesley seorang wanita berkewarganegaraan Inggris (British subject). Ia meninggal di Perancis tahun 1924. Sehingga menurut hukum Inggris, domisilinya adalah di Perancis. Tahun 1919, wanita ini telah membuat surat wasiat dalam bentuk hukum Inggris. Dalam suratnya, sedemikian rupa dibuat sehingga anak lelakinya harus kehilangan hak warisnya. Di Inggris ini dibolehkan. Sedang di Perancis dikenal legitima portio bahwa sang anak sekurang-kurangnya menerima sepertiga bagian dari harta warisan. Lantas hukum yang mana yang akan digunakan, apakah dari Inggris atau Perancis? Menurut hukum bersangkutan, maka kasus ini melihat dari domisili wanita tersebut. Oleh karena itu, hukum Perancis yang harus digunakan. Sedang dalam hukum Perancis, asas yang digunakan adalah asas nasionalitas. Maka hukum yang berlaku dari warga negara asing adalah hukum negaranya, dalam hal ini Inggris. Tetapi dari Inggris menunjuk kembali kepada hukum Perancis yaitu hukum domisili. Lalu setelah Perancis menerima renvoi ini, apakah kemudian hukum intern Perancis yang akan digunakan? Hakim lalu menyelidiki HPI Perancis soal renvoi. Dan kemudian menurut hakim ini, kasus tersebut akan memakai hukum intern Perancis. Oleh karena itu, hakim Russel yang mengadili perkara juga menggunakan hukum intern Perancis. Berdasarkan itu, maka wewenang dari Annesley untuk membuat surat wasiat harus dibatasi. – Kasus in re Ross (Ross v. Waterfield) Janet Anne Ross, wanita berkewarganegaraan Inggris. Meninggal di Italia tahun 1927. Ketika ia meninggal, maka diketahui menurut hukum Inggris, domisilinya adalah di Italia. Ia telah hidup di Florence sejak tahun 1888, yakni tahun dimana ia membeli sebuah rumah besar nan mewah yang terkenal dengan nama Poggio Gherardi. Tahun 1902, suaminya meninggal terlebih dahulu. Tidak ada kesangsian bahwa keduanya meninggal dengan domisili di Italia. Sewaktu Janet meninggal di tahun 1927, barulah surat wasiatnya dipersoalkan. Dalam semua wasiatnya, harta kekayaannya jatuh kepada tergugat Caroline Lucy Isabel Waterfield, sedangkan kepada anak laki-lakinya tidak diwariskan apa-apa. Penggugat mengklaim bahwa dirinya berhak atas ½ benda tak bergerak di Italia dan ½ benda tidak bergerak yang berada di wilayah manapun. Dalam hukum Italia juga dikenal legitima portio. Sedang Inggris tidak. Tetapi yang jadi soal adalah hukum mana yang akan diberlakukan. Luxmoore J. yang mengadili perkara ini menimbang bahwa kasus ini harus diadili sebagaimana masalah ini diselesaikan oleh badan-badan peradilan di Italia. Jika menunjuk kepada hukum di Italia. Maka itu akan termasuk di dalam hukum intern serta kaidah HPI yang terkandung di dalamnya, dalam hal ini Italia. Sehingga surat wasiat tetap dianggap sah. Karena kenyataannya, menurut doktrin hukum di Italia, renvoi tidak diterima. Maka pada kasus ini, kenyataannya gugatan penggugat tidak berhasil dengan kata lain penggugat tetap tidak mendapatkan apa-apa. WNA Rebutan Hak Asuh Anak di Pengadilan Indonesia [22/1/08] Demi perlindungan dan kepentingan terbaik si anak, yurisdiksi pengadilan dinomorduakan. Mawar (nama samaran) dijadikan rebutan orangtuanya di meja hijau. Mawar lahir di Jakarta enam tahun lalu. Meski lahir di Indonesia, kedua orangtuanya ekpatriat dari Negeri Paman Sam. Karena itu pula dalam Akta Kelahiran Mawar tercatat sebagai Warga Negara Amerika Serikat (USA). Sejak 2000, kedua pasangan ekspatriat yang menikah di Philadelphia, USA, pada 1997 ini, tinggal di Indonesia dengan kartu izin tinggal terbatas (Kitas). Akibat cekcok rumah tangga, pertengahan 2007 Mawar dan sang ibu mengungsi ke rumah keluarga orangtuanya. Buntutnya, ibu Mawar, sebut saja namanya Rembulan, mengajukan Permohonan Perlindungan dan Kuasa Asuh ke Pengadilan Negeri Jakara Selatan. Sebelum membawa persoalan ke meja hijau, Rembulan sempat melaporkan suaminya, Joki (nama samaran) ke Polda Metro Jaya atas perbuatan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Perkaranya kini sedang berjalan di tahap penyidikan. Dalam permohonan, Rembulan mendalilkan Joki sudah berbuat kelewat batas, mulai dari sering mengajak bertengkar di depan Mawar, hingga mengancam hendak membunuh Rembulan. Dalam sidang yang berlangsung Senin (21/1) kemarin PN Jaksel mengabulkan permohonan penetapan yang diminta Rembulan. Hakim Syafrullah Sumar menyatakan hak asuh Mawar untuk sementara dialihkan ke Rembulan. Masih lagi ditambahi, Joki baru bisa menemui Mawar setelah mendapat izin dari Rembulan. Atas putusan itu, kuasa hukum Joki buru-buru bertanya, “Lalu kalau pemohon tidak mengizinkan, klien kami tidak bisa bertemu anaknya?” tanya Suhendra Asido Hutabarat dari kantor hukum Lie Hutabarat. Pak Hakim menjawab singkat, “Itu nanti dikonsultasikan dulu dengan pihak pemohon. Dipelajari dulu bunyi penetapannya”. Kontan saja, tim kuasa hukum Joki meradang. Menurut Suhendra, putusan hakim Syafrullah telah melanggar yurisdiksi hukum negara lain. Baik Joki, Rembulan, maupun Mawar, semuanya ekspatriat alias WNA. Hakim tidak bisa begitu saja mengabulkan permohonan Rembulan. “Hukum perdata internasional di Indonesia menganut sistem nasionalitas, sebelum seorang WNA dengan tegas menyatakan penundukan diri pada hukum Indonesia, maka harus diterapkan hukum nasional dari negaranya,” ujarnya. Selain kurang definitif menyebut rentang waktu pengalihan hak asuh itu, ada yang lebih aneh lagi menurut Suhendra. Hak asuh, ujarnya, harus diberikan setelah ada putusan perceraian. Itu pun mestinya melalui Undang-undang No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak, bukan berdasar UU No. 23/2004 tentang Penghapusan KDRT. Untuk bercerai, jelas Suhendra, pasangan ekpatriat mesti kembali ke negara yang dulunya mengesahkan pernikahan mereka. “Ini bisa dibilang hakim telah melakukan penyelundupan hukum. Harusnya hakim menengok pada hukum yang berlaku di negara mereka berasal,” cetus Suhendra. Berdasarkan penelusuran hukumonline, pasal 32 UU Penghapusan KDRT memang jelas menyebut kemungkinan pemberian perintah perlindungan pada korban KDRT oleh ketua pengadilan. Perlindungan ini dapat diberikan dalam waktu paling lama satu tahun. Jika dimohonkan, perlindungan bisa diperpanjang lagi atas penetapan pengadilan. Sayang, dalam hal korbannya anak, UU KDRT tidak menyebut dengan gamblang tentang pengalihan hak asuh. Setali tiga uang dengan Joki, Sekjen Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) Arist Merdeka Sirait menilai hakim kurang cermat. Bermodal laporan dari pihak Joki, Komnas PA pernah menyambangi Mawar ke sekolahnya. “Dari hasil kami menanyai Mawar dengan didampingi gurunya, kami melihat si anak saat itu dalam kondisi di bawah tekanan. Ini mestinya diperhatikan hakim,” ujar Arist dari ujung telepon. Menurut Arist, seorang anak ibarat kertas kosong yang bisa ditulisi apapun oleh orangtuanya. Apalagi Mawar sudah lebih dari empat bulan terpisah dari sang ayah. Jika dalam rentang waktu itu, ibunya menggiring imaji Mawar tentang sosok ayahnya sebagai sosok yang menakutkan, ujar Arist, “Anak seumur itu ya pasti akan takut.” Ia menekankan, apa pun putusan hak asuh itu, hakim tidak bisa semena-mena memisahkan anak dari orangtuanya. Lain lagi fakta yang muncul di persidangan. Pak Hakim merasa tersentuh menyaksikan Mawar yang ketakutan bak melihat hantu saat didekati ayahnya. Peristiwa di persidangan itu, dijadikan bahan pertimbangan yang cukup kuat oleh Syafrullah dalam mengambil putusan. ia menuliskannya dalam pertimbangan. Lalu mengapa putusan ini tidak menunggu terlebih dulu kelanjutan proses pidana atas KDRT yang dituduhkan pada Joki? Menurut salah satu dari tim kuasa hukum Rembulan yang enggan disebut namanya, hak perlindungan untuk anak melalui pengalihan pengasuhan ke tempat yang lebih aman tidak harus menunggu kelanjutan proses pidana. Lagipula, permohonan ini sebenarnya ditujukan demi terjaminnya anak dari perilaku kekerasan baik fisik maupun psikis. Kalau mesti menunggu, “Nanti keburu anaknya kena dampak buruk dari kekerasan,” ujarnya. “Atau malah terlanjur dibunuh ayahnya gimana?” The best interest of the child Mengenai asas nasionalitas yang dijadikan tameng Kuasa Hukum Joki, pakar hukum perdata internasional Universitas Indonesia (UI) Prof Zulfa Djoko Basuki berpendapat berbeda. Zulfa justru menilai putusan hakim itu sudah tepat. Menurutnya, untuk ekspatriat asal Amerika yang tinggal di Indonesia, karena hukum di negaranya menganut paham domisili, maka hukum perdata internasional yang berlaku buat keduanya adalah hukum domisili ia tinggal. Dia menambahkan, hukum di negara maju rata-rata malah lebih tegas mengatur soal perlindungan anak dan KDRT. Sehingga, menurut Zulfa, hakim tidak perlu susah-susah melongok pada hukum negara asal WNA. Toh ujarnya, “Hukum di sana saya kira sama. Kalau dikembalikan ke sana, nanti juga malah dilakukan penunjukan kembali (renvoi, red)”. Pengabulan permohonan itu, menurutnya bisa dianggap sebagai tindakan provisi dari hakim. “Apalagi hakim sudah yakin, kedekatan si anak lebih condong pada ibunya. Kecuali bisa dibuktikan kalau si anak memang lebih dekat dengan ayahnya, itu baru lain lagi,” ujarnya. Dalam menyangkut perlindungan anak dari kekerasan orangtua, asas yang dianut adalah the best interest of the child. “Mana yang terbaik buat si anak saja. Kalau hakim menyaksikan sendiri si anak ketakutan pada ayahnya, cara melindungi si anak ya dengan mengalihkan hak asuh pada orangtua yang lebih dekat dengan si anak. Saya kira itu sudah tepat”. Malahan, di sejumlah negara, imbuhnya, jika perbuatan KDRT telah terbukti sah dan meyakinkan, bukan cuma hak asuh saja yang dialihkan ke salah satu pihak, tapi pelaku kekerasan itu bahkan bisa dihukum dengan pemangkasan habis hak kunjung terhadap anaknya. Namun dalam putusan seperti ini, Zulfa menyarankan agar hakim lebih banyak mengkaitkannya pada aturan normatif yang ada, seperti UU Perlindungan Anak atau konvensi-konvensi internasional tentang perlindungan anak. Namun Suhendra menilai lain. Jika memang pertimbangan pengalihan hak asuh anak didasari KDRT, “Dimana letak kekerasannya, toh tidak terbukti. Hasil visum et repertum si anak yang dikeluarkan RS Jakarta tertanggal 23 September 2007 yang dijadikan bukti oleh pemohon hanya menyebut nyeri,” ujar Hendra. “Mestinya dibuktikan dulu terjadinya KDRT. Ini kan sama saja penculikan hak asuh anak atas nama KDRT yang tidak dibuktikan. Ini preseden buruk,” pungkasnya.

 Handout Hukum Perdata Internasional Oleh : H.M.Aiz Muhadjirin, SH,MH

Pertemuan VII Kwalifikasi

Kwalifikasi adalah melakukan “translation” atau penyalinan daripada fakta sehari-hari dalam istilah-istilah hukum. Fakta-fakta ini dimasukan dalam kotak-kotak hukum, kelas-kelas, ruang-ruang atau kamar-kamar atau bagian-bagian hukum yang sudah tersedia. Ini yang dinamakan klasifikasi dari fakta-fakta. Dalam pemahaman sederhana kwalifikasi dapat diartikan sebagai suatu proses untuk mendudukan suatu perkara dengan jelas, baik secara pengertian maupun hukum mana yang akan dipergunakan. Contoh 1 : Seorang advokat menerima clientnya yang menceritakan suatu kejadian tertentu dan rangkaian peristiwa-peristiwa. Misalnya ia menceritakan tentang pemberian tugas yang telah diberikan olehnya kepada seorang yang dipercayainya untuk melakukan perwakilan khusus baginya dalam menandatangani suatu kontrak. Jika fakta ini akan dimasukan ke dalam persoalan “kwalifikasi”, maka harus dikwalifikasikan sebagai “pemberian kuasa” sebagaimana diatur dalam pasal 1792 BW. Macam-macam kwalifikasi : 1. Kwalifikasi menurut lex fori (yaitu menurut hukum hakim). Menurut mazhab ini kwalifikasi harus dilakukan menurut hukum materil sang hakim. Dalam istilah lain kwalifikasi ini dapat pula dikatakan bahwa yang menentukan “penentuan” adalah hakim di negara tempat perkara atau di tempat yang telah mereka sepakati sesuai perjanjian. 2. Kwalifikasi menurut lex causae, yaitu kawalifikasi yang dilakukan menurut sistem hukum dari mana pengertian ini berasal. Di sini dipahami bahwa suatu perkara diputuskan sesuai dengan asal muasal perkara itu terjadi atau terlaksana, atau dengan kata lain sumber dari pengertian yang telah mereka sepakati. 3. Kwalifikasi secara otonom,yaitu kwalifikasi yang mendasarkan pada methodos comparative (perbandingan hukum). Kwalifikasi ini dilakukan terlepas dari salah satu sistem hukum tertentu. Pengertian-pengertian hukum yang dipergunakan dalam kaidah HPI dianggap sebagai pengertian-pengertian untuk masalah HPI yang berlaku secara umum. Dalam kwalifikasi ini dikehendaki adanya pengertian yang sama diantara negara-negara di seluruh dunia sehingga jika terjadi suatu perkara maka pengertian, pemahaman, serta keputusannya pun sama antara negara yang satu dengan negara yang lain. Diantara ke-3 macam kwalifikasi ini, maka lex fori adalah mazhab yang paling banyak dipakai oleh negara-negara di dunia termasuk Indonesia. Namun demikian ada beberapa pengecualian dimana lex fori tidak dapat dilaksanakan, yaitu : 1. Kwalifikasi kewarganegaraan, dimana harus ditentukan secara mutlak oleh negara yang bersangkutan. Dengan kata lain lex causae lah yang dipergunakan dalam kasus kewarganegaraan. 2. Kwalifikasi mengenai “bergerak atau tidak bergerak” suatu benda ditentukan oleh lex situs. Pertimbangannya adalah bahwa hukum dimana tempat adanya benda tersebut dan pembuat UU nya dalam praktek merupakan pihak yang menentukan terhadap benda tersebut. 3. Kwalifikasi kontrak menurut kehendak para pihak. Dalam hal ini para pihak bebas menentukan pilihan hukumnya sendiri. 4. Kwalifikasi dari perbuatan melanggar hukum. Dalam hal ini ditentukan oleh hukum dari tempat dimana perbuatan melanggar hukum itu dilakukan. 5. Jika ada perstujuan antara beberapa negara, seperti konvensi, maka pengertian dalam konvensi itulah yang dipergunakan terlepas dari pendapat hakim dari masing-masing negara peserta konvensi. 6. Kwalifikasi yang dipergunakan oleh Mahkamah Internasional. Kwalifikasi dibedakan menjadi 2, yaitu : 1. Kwalifikasi primeryaitu kwalifikasi yang diperlukan untuk menentukan hukum yang dipergunakan. Untuk dapat menentukan hukum asing manakah yang dipergunakan harus dilakuakan kwalifikasi menurut kaidah HPI dari mazhab lex fori. Kwalifikasi primer ini memberi kepastian tentang pengertian-pengertian seperti domisili, pewarisan dan lainnya. 2. Kwalifikasi sekunder, yaitu sebagai langkah lanjutan setelah ditentukannya hukum mana yang akan dipergunakan, lalu pengertian serta pemahaman yang dipergunakan harus sesuai dengan pengertian yang berlaku dalam hukum tersebut.

Handout Hukum Perdata Internasional Oleh : H.M.Aiz Muhadjirin, SH,MH

Pertemuan VIII Ketertiban Umum

Menurut Prof.Sudargo Gautama yang dimaksud dengan ketertiban umum adalah : “kaidah-kaidah hukum asing yang sebenarnya harus diberlakukan menurut ketentuan HPI Indonesia, tidak dapat dipergunakan / diberlakukan karena kaidah hukum asing tersebut bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan”. Apabila HPI telah menentukan bahwa kaidah hukum asing lah yang akan diberlakukan, namun di lain pihak pemberlakuan kaidah hukum asing itu akan menimbulkan “kegoncangan” bagi sendi-sendi hukum nasional Indonesia, maka hakim dapat melakukan “pengecualian” untuk tidak menggunakan / memberlakukan kaidah hukum asing tersebut dan beralih pada hukum nasional Indonesia. Itulah yang dimaksud dengan ketertiban umum atau dalam bahasa Belanda disebut dengan istilah Openbare Orde. Fungsi daripada lembaga ketertiban umum ini seolah-olah sebagai “rem darurat” sehingga penggunaanya pun harus seselektif mungkin. Hal ini dapat menyebabkan mati nya HPI apabila ketertiban umum selalu dipergunakan dalam setiap kasus yang melibatkan unsur asing. Contoh 1 : tentang perbudakan Berdasarkan Pasal 16 AB status personil dari setiap orang asing yang berada di Indonesia secara analogi akan diberlakukan hukum negara asalnya. Namun apabila terkait terhadap masalah perbudakan, yang bagi sebagian kecil negara di benua Afrika masih diperbolehkan, dan terjadi kasus antara majikan dan budak tersebut di Indonesia, maka hakim dapat mengesampingkan hukum negara asalnya tersebut dan beralih menggunakan hukum nasional Indonesia. Hal ini disebabkan karena masalah perbudakan tidak diakui di Indonesia dan merusak rasa keadilan atau ketertiban umum masyarakat / negara Indonesia. Contoh 2 : Kematian perdata Di beberapa negara modern ada yang memberlakukan kaidah hukum mengenai kematian perdata seseorang. Kematian perdata di sini adalah hilangnya hak-hak keperdataan seseorang, seperti berjual-beli, menikah dan lainnya. Jika terdapat kasus yang berkaitan tentang kematian perdata di Indonesia, maka hakim Indonesia harus mengesampingkan ketentuan tersebut dan beralih menggunakan hukum nasional Indonesia yang tidak mengenal istilah kematian perdata. Contoh 3 : Larangan perkawinan Nazi Jerman dengan bukan Nazi Sebagaimana kita ketahui bahwa pada masa jaya nya dalam UU tahun 1931, Nazi Jerman yang berbangsa Aria telah melarang rakyatnya untuk menikah dengan orang yang bukan bangsa Aria. Namun berdasarkan teori ketertiban umum, jika orang Nazi Jerman tersebut berada di Indonesia dan ingin menikah dengan orang yang tidak berbangsa Aria dan meminta untuk dicatatkan di catatan sipil, maka meskipun pelaksanaanya di Jerman dilarang, namun demi ketertiban umum di Indonesia hal itu dapat dilakukan. Ketertiban umum dapat dibagi menjadi 2 macam, yakni : 1. Ketertiban umum internasional (extern), yaitu kaidah-kaidah hukum yang dimaksudkan untuk melindungi kesejahteraan negara dan perlindungan rakyatnya. Contoh : Apabila seorang muslim Mesir, yang berdasarkan hukum di Mesir dapat berpoligami, namun jika hendak melakukan poligami di Perancis maka hal itu tidak dapat dilakukan karena Perancis tidak memperbolehkan adanya poligami. 2. Ketertiban umum intern yaitu kaidah-kaidah hukum yang hanya membatasi kebebasan perseorangan. Contoh : Menurut UU di Mesir, setiap anak yang telah berusia 18 tahun maka telah dianggap dewasa sehingga dapat menikah. Apabila anak 18 tahun tersebut ingin menikah di Perancis, padahal di Perancis usia dewasa yang boleh menikah adalah 21 tahun, maka tetap saja diperbolehkan. Hal ini disebabkan karena tidak adanya perbuatan yang dapat mengubah batas kedewasaan tersebut. Di lain pihak menikahnya anak 18 tahun tersebut secara umum tidak merugikan siapapun meskipun yang akan dinikahinya tersebut adalah wanita / laki-laki Perancis. Hal lain yang harus diperhatiakn juga adalah dimungkinkannya “definisi” ketertiban umum itu berubah, baik karena situasi maupun kondisi. Sebagai contoh: dulu pada tahun sebelum 1884 di Perancis tidak diperbolehkan adanya perceraian. Namun setelah itu kebijakan mengenai perceraian berubah dan diperbolehkan. Ini menjadi contoh berubahnya “definisi” atau makna ketertiban umum berdasarkan situasi atau waktu. Contoh lain ialah apabila di Italia tidak memperbolehkan perceraian, namun ada penduduk yang menginginkan perceraian, maka orang tersebut dapat melakukannya di negara lain. Ini adalah contoh perubahan ketertiban umum berdasarkan kondisi atau tempat.

Handout Hukum Perdata Internasional Oleh : H.M.Aiz Muhadjirin, SH,MH

Pertemuan IX Penyelundupan Hukum (Wetsontduiking)

Penyelundupan hukum memiliki pemahaman sebagai suatu “usaha” dari seorang subyek hukum untuk menghindar dari sebuah ketentuan peraturan yang berlaku untuk dirinya dengan cara beralih untuk menundukan diri pada sebuah aturan perundangan lain (baik nasional maupun asing) agar tujuan-tujuannya tercapai atau menghindari resiko yang akan menimpanya. Contoh 1 : Perkawinan Gretna Green Gretna Green adalah sebuah desa di Skotlandia yang memperbolehkan sesorang menikah tanpa persetujuan dari orangtua mereka. Padahal di wilayah Inggris pada saat itu, yakni saat Raja George II berkuasa, perkawinan rakyat Inggris harus atas persetujuan orangtua mereka. Hal ini menyebabkan banyaknya orang-orang yang hendak menikah namun tidak mendapatkan restu dari orangtuanya masing-masing melarikan diri ke Gretna Green untuk melangsungkan perkawinan. Contoh 2 : Perpindahan agama Kasus perkawinan campuran (antar agama) menjadi penyebab terjadinya penyelundupan hukum. Pada saat sepasang kekasih hendak menikah namun terhalang karena agamanya berbeda, maka untuk mensiasatinya, salah satu pihak berpura-pura telah memeluk salah satu agama agar terjadi persamaan keyakinan. Untuk kasus seperti ini di dalam HPI telah banyak disebut-sebut contoh kasus “Jacques van Hemmer” seorang laki-laki Belanda yang menikahi wanita Indonesia pada tanggal 4 November 1946 setelah terlebih dahulu mengaku muslim dan mengganti namanya menjadi Zeki bin Ahmar di depan penghulu agar tujuannya ingin menikahi wanita Indonesia tercapai. Contoh 3 : Perkawinan untuk mendapatkan kewarganegaraan Seperti telah diketahui, dalam UU No.62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan, yang lama dikatakan bahwa perempuan asing yang hendak bekerja di Indonesia harus memiliki izin dan membayar pajak. Ketentuan ini menyebabkan banyaknya wanita-wanita asing “mensiasati” dengan menikahi laki-laki Indonesia agar setelah menikah secara otomatis statusnya dapat mengikut suami sehingga dapat bekerja di Indonesia tanpa meminta izin dan membayar pajak orang asing lagi. Berdasarkan contoh-contoh tersebut, tentunya akan menimbulkan pertanyaan bagaimanakh status perbuatan-perbuatan hukum tadi, apakah sah menurut hukum atau tidak ? Jika kita mengambil referensi dari Yurisprudensi Perancis, maka akan ditemui suatu asas Fraus omnia corrumpit, yaitu penyelundupan hukum mengakibatkan semua perbuatan hukum yang telah terjadi menjadi tidak sah. Bagi kita di Indoensia kiranya patut dicermati pendapatnya Prof.S.Gautama yang mengatakan bahwa untuk menentukan apakah benar-benar telah terjadi perubahan status dengan jalan pindah agama, maka penyelesaiannya adalah sesuai seperti menghadapi masalah pilihan hukum. Adapun perubahan status pindah agama, peleburan dan lainnya harus dilihat terlebih dahulu apakah telah terjadi peralihan sosial atau belum. JIka telah terjadi peralihan sosial maka menurut Gautama sah seluruh perbuatan hukum tadi beserta segala akibat hukumnya. Namun jika belum terjadi peralihan sosial maka perbuatan hukum tersebut dipandang tidak sah sesuai dengan yurisprudensi Fraus omnia corrumpit.

Handout Hukum Perdata Internasional Oleh : H.M.Aiz Muhadjirin, SH,MH

Pertemuan X PILIHAN HUKUM (Rechtskeuze / Rechtswahl)

Pilihan hukum adalah sebuah perbuatan yang dapat dilakukan oleh para pihak yang terlibat dalam suatu perjanjian / kontrak bebas untuk memilih sendiri hukum yang dapat / harus dipakai untuk kontrak / perjanjian mereka. Namun demikian kebebasan untuk memilih hukum ini hanya dimaksudkan untuk memilih hukum negara tertentu guna proses penyelesaian sengketa dan bukan memilih perundang-undangan yang akan diberlakukan. Selain itu hal yang harus diperhatikan pula bahwa pilihan hukum akan terlaksana manakala tidak bertentangan dengan prinsip ketertiban umum. Secara umum pilihan hukum ini hanya dapat dilakukan untuk persoalan kontrak / perjanjian bebas. Hal ini menunjukan bahwa tidak semua jenis perjanjian / kontrak dapat mengambil prosedur pilihan hukum. Sebagai contoh ialah persoalan kontrak kerja yang tidak dapat menempuh jalur pilihan hukum karena menyangkut kaidah yang memaksa (dwingend recht). Macam-macam pilihan hukum ada 4 yaitu : 1. Pilihan hukum secara tegas, yaitu pilihan hukum yang memang telah tertulis secara jelas di dalam suatu kontrak / perjanjian tersebut, seperti di dalam kontrak joint venture dan lainnya. 2. Pilihan hukum secara diam-diam, yaitu pilihan hukum yang hanya dipahami melalui pengambilan kesimpulan dari suatu kontrak / perjanjian. Contohnya apabila para pihak yang terikat kontrak / perjanjian memilih domisili di kantor Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dikehendaki oleh para pihak secara diam-diam adalah agar hukum di negara Indonesia lah yang dipilih / diberlakukan. 3. Pilihan hukum yang dianggap, yaitu pilihan hukum yang ditentukan oleh seorang Hakim berdasarkan dugaan-dugaan belaka. Contohnya ialah perbuatan hukum yang dilakukan oleh golongan pribumi dan tidak dikenal dalam teori hukum adat harus dianggap untuk perbuatan hukum tersebut secara sukarela telah menundukan diri kepada hukum perdata Eropa. 4. Pilihan hukum secara hipotesis, yaitu pilihan hukum yang dikenal di Jerman. Sebenarnya dalm kasus ini tidak ada kemauan dari para pihak untuk melakukan pilihan hukum, namun Hakim lah yang melakukan pilihan hukum tersebut berdasarkan fiksi. Dalam kenyataan di lapangan, terjadi pro kontra diantara para ahli mengenai pilihan hukum itu sendiri dengan alasan masing-masing. Alasan pihak yang pro atau mendukung diberlakukannya pilihan hukum ialah : 1. Alasan bersifat falsafah, yaitu bahwa memilih suatu hukum adalah sebagai suatu kemauan yang dianggap suci. 2. Alasan bersifat praktis, yaitu untuk mengetahui hukum mana yang paling dianggap berguna dan bermanfaat bagi para pihak yang terlibat. 3. Alasan kepastian hukum. Dengan adanya pilihan hukum maka akan jelas hukum dan sanksi yang akan berdampak bagi para pihak. 4. Alasan kebutuhan hubungan lalu lintas internasional. Dengan adanya pilihan hukum maka telah memenuhi suatu kebutuhan nyata dalam hubungan internasional dan mengetahui secara pasti hak dan kewajiban yang mereka emban. Adapun alasan pihak yang kontra / anti terhadap pilihan hukum ialah : 1. Alasan “circulus vituosus” (lingkaran vicieus). Argumentasi ini sebenarnya ingin mengetahui secara mendalam apakah telah terjadi pemaksaan dalam pilihan hukum tersebut dan apakah memang sah telah menjatuhkan pilihan hukum tersebut. 2. Alasan hukum intern memaksa harus pula internasional memaksa. 3. Alasan tidak adanya hubungan dengan hukum yang dipilih. Di sini adanya keterkaitan yang jelas antara pihak yang terlibat sehingga tidak boleh memilih hukum suatu negara di luar negara para pihak yang terlibat. 4. Alasan bahwa pilihan hukum merupakan perbuatan a-sosial. Hal ini seolah-olah menunjukan bahwa dengan diperkenankannya melakukan pilihan hukum maka para pihak berada di luar dan di atas peraturan hukum.

Leave a comment